TENTANG
PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN
TERTENTU BERUPA HARTA BERSIH YANG DIPERLAKUKAN ATAU
DIANGGAP SEBAGAI PENGHASILAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
a.
bahwa dalam rangka memberikan kepastian hukum dan kesederhanaan
terkait pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan tertentu berupa
Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan terkait
pelaksanaan kebijakan Pengampunan Pajak, perlu menetapkan Pajak
Penghasilan atas penghasilan tertentu yang bersifat final;
b.
bahwa penetapan Pajak Penghasilan atas penghasilan tertentu yang
bersifat final sebagaimana dirnaksud dalarn huruf a dalam rangka
melaksanakan ketentuan Pasal 13 dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 TAHUN 2016 tentang Pengampunan Pajak;
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf e
Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pernerintah
tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Tertentu Berupa
Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap sebagai Penghasilan;
Mengingat:
1.
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 TAHUN 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3.
Undang-Undang Nomor 11 TAHUN 2016
tentang Pengampunan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 131, Tarnbahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5899)
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS
PENGHASILAN TERTENTU BERUPA HARTA BERSIH YANG DIPERLAKUKAN ATAU DIANGGAP
SEBAGAI PENGHASILAN.
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1.
Undang-Undang Pengampunan Pajak adalah Undang-Undang Nomor 11 TAHUN 2016 tentang Pengampunan Pajak.
2.
Harta adalah akumulasi tambahan kemampuan ekonornis berupa seluruh
kekayaan, baik berwujud rnaupun tidak berwujud, baik bergerak maupun
tidak bergerak, baik yang digunakan untuk usaha maupun bukan untuk
usaha, yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
3.
Utang adalah jumlah pokok utang yang belum dibayar yang berkaitan langsung dengan perolehan Harta.
4.Harta Bersih adalah nilai Harta dikurangi nilai Utang.
5.
Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak yang selanjutnya
disebut Surat Pernyataan adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak
untuk mengungkapkan Harta, Utang, nilai Harta Bersih, serta penghitungan
dan pembayaran Uang Tebusan.
6.
Surat Keterangan Pengampunan Pajak yang selanjutnya disebut Surat
Keterangan adalah surat yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan sebagai
bukti pemberian Pengampunan Pajak.
7.
Surat Pembetulan atas Surat Keterangan adalah surat pembetulan yang
diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membetulkan Surat
Keterangan yang diterbitkan sebelumnya.
8.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang selanjutnya
disebut SPT PPh adalah Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan untuk suatu
Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak.
9.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Terakhir yang selanjutnya disebut SPT PPh Terakhir adalah:
a.
SPT PPh untuk Tahun Pajak 2015 bagi Wajib Pajak yang akhir tahun
bukunya berakhir pada periode 1 Juli 2015 sampai dengan 31 Desember
2015; atau
b.
SPT PPh untuk Tahun Pajak 2014 bagi Wajib Pajak yang akhir tahun bukunya berakhir pada periode
1 Januari 2015 sampai dengan 30 Juni 2015.
10.
Tahun Pajak Terakhir adalah Tahun Pajak yang berakhir pada jangka waktu 1 Januari 2015 sampai dengan 31 Desember 2015.
Pasal 2
(1)
Harta Bersih yang diperlakukan a tau dianggap sebagai penghasilan
yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan meliputi:
a.
Harta Bersih tambahan sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 13 ayat (4) Undang-Undang Pengampunan Pajak;
b.
Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat
Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang
Pengampunan Pajak; dan/atau
c.
Harta Bersih yang belum dilaporkan dalam SPT PPh sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Pengampunan Pajak, dengan
ketentuan Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi
mengenai Harta Bersih dimaksud sebelum tanggal 1 Juli 2019.
(2)
Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat
Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, termasuk:
a.
Harta Bersih dalam SPT PPh Terakhir yang disampaikan setelah
berlakunya Undang-Undang Pengampunan Pajak oleh Wajib Pajak yang telah
memperoleh Pengampunan Pajak, namun tidak mencerminkan:
1.
Harta Bersih yang telah dilaporkan dalam SPT PPh yang disampaikan sebelum:
a) SPT PPh Terakhir; dan
b) Undang-Undang Pengampunan berlaku;
2.
Harta Bersih yang bersumber dari penghasilan yang diperoleh pada Tahun Pajak Terakhir; dan
3.
Harta Bersih yang bersumber dari setoran modal dari pemilik atau pemegang saham pada Tahun
Pajak Terakhir; dan/atau
b.
Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan akibat penyesuaian
nilai Harta berdasarkan Surat Pembetulan atas Surat Keterangan.
(3)
Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat
Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan Harta
Bersih yang:
a.
diperoleh Wajib Pajak sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir; dan
b.masih dimiliki pada akhir Tahun Pajak Terakhir.
(4)
Harta Bersih yang belum dilaporkan dalam SPT PPh sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan Harta yang diperoleh sejak
tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan tanggal 31 Desember 2015 dengan
ketentuan:
a.
masih dimiliki Wajib Pajak pada akhir Tahun Pajak Terakhir; dan
b.
belum dilaporkan dalam SPT PPh sampai dengan diterbitkan surat
perintah pemeriksaan untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka menghitung
Pajak Penghasilan atas penghasilan tertentu berupa Harta Bersih yang
diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan.
Pasal 3
(1)
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 merupakan penghasilan tertentu yang terutang Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
(2)
Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan
Pajak Penghasilan.
Pasal 4
(1)
Tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
ditetapkan sebagai berikut:
a.
Wajib Pajak badan sebesar 25% (dua puluh lima persen);
b.
Wajib Pajak orang pribadi sebesar 30% {tiga puluh persen); dan
c.
Wajib Pajak tertentu sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen).
(2)
Wajib Pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan:
a.
Wajib Pajak yang menerima penghasilan bruto dari usaha dan/atau
pekerjaan bebas pada Tahun Pajak Terakhir paling banyak
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah);
b.
Wajib Pajak yang menerima penghasilan bruto selain dari usaha
dan/atau pekerjaan bebas pada Tahun Pajak Terakhir paling banyak
Rp632.000.000,00 (enam ratus tiga puluh duajuta rupiah); atau
c.
Wajib Pajak yang menerima penghasilan bruto dari usaha dan/atau
pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada huruf a dan selain dari usaha
dan/atau pekerjaan bebas pada huruf b, dengan ketentuan:
1.
jumlah penghasilan bruto yang bersumber selain dari usaha dan/atau
pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada huruf b paling banyak
Rp632.000.000,00 (enam ratus tiga puluh dua juta rupiah); dan
2.jumlah penghasilan bruto yang bersumber:
a) dari usaha dan/atau pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan
b) selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada huruf b,
paling banyak Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
(3)
Penghasilan bruto pada Tahun Pajak Terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi seluruh penghasilan yang:
a.
merupakan objek Pajak Penghasilan yang bersifat final; dan
b.
merupakan objek Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final,
sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
(4)
Penghasilan bruto pada Tahun Pajak Terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan:
a.
bagi Wajib Pajak yang memperoleh Surat Keterangan, berdasarkan:
1.SPT PPh Terakhir;
2.
surat pernyataan mengenai besaran peredaran usaha yang dilampirkan
dalam Surat Pernyataan, dalam hal SPT PPh Terakhir tidak dilampirkan
dalam Surat Pernyataan; atau
3.
surat pernyataan mengenai besaran penghasilan bruto pada Tahun
Pajak Terakhir, dalam hal tidak terdapat dokumen sebagaimana dimaksud
pad a angka 1 dan angka 2;
b.
bagi Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pernyataan, berdasarkan:
1.fSurat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas kewajiban Pajak Penghasilan Tahun Pajak Terakhir yang diterbitkan paling akhir sebelum tanggal penerbitan surat perintah pemeriksaan untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka menghitung Pajak Penghasilan atas penghasilan tertentu berupa Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan;
2.
SPT PPh Terakhir, dalam hal belum diterbitkan Surat Ketetapan Pajak
atas kewajiban Pajak Penghasilan Tahun Pajak Terakhir; atau
3.
surat pernyataan mengenai besaran penghasilan bruto pada Tahun
Pajak Terakhir, dalam hal tidak terdapat dokumen sebagaimana dimaksud
pada angka 1 dan angka 2.
(5)
Dalam hal tidak terdapat dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), berlaku tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf
b.
(6)
Surat pernyataan mengenai besaran penghasilan bruto sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf a angka 3 dan huruf b angka 3 diakui
sepanjang Direktur Jenderal Pajak tidak memiliki data dan/atau informasi
lain.
Pasal 5
(1)
Dasar pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dihitung dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
Harta Bersih tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
huruf a adalah sebesar jumlah Harta Bersih tambahan yang tercantum dalam
Surat Keterangan;
b.
Harta Bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b
adalah sebesar jumlah Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan
dalam Surat Pernyataan;
c.
Harta Bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c
adalah sebesar jumlah Harta Bersih yang belum dilaporkan dalam SPT PPh;
d.
Harta Bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a
adalah sebesar selisih lebih antara Harta Bersih yang dilaporkan dalam
SPT PPh Terakhir dengan jumlah yang mencerminkan:
1.
Harta Bersih yang telah dilaporkan dalam SPT PPh yang disampaikan sebelum:
a) SPT PPh Terakhir; dan
b) Undang-Undang Pengampunan Pajak berlaku;
2.
Harta Bersih yang bersumber dari penghasilan pada Tahun Pajak Terakhir; dan
3.
Harta Bersih yang bersumber dari setoran modal dari pemilik atau pemegang saham pada Tahun Pajak Terakhir; dan/atau
e.
Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan akibat penyesuaian
nilai Harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b
merupakan nilai Harta Bersih per akhir Tahun Pajak Terakhir yang tidak
dilunasi Uang Tebusannya sebagaimana tercantum dalam Surat Pembetulan
atas Surat Keterangan.
(2)
Nilai Harta untuk menghitung besarnya nilai Harta Bersih
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c ditentukan
sebagai berikut:
a.Harta berupa kas berdasarkan nilai nominal; atau
b.
Harta selain kas berdasarkan nilai dari hasil penilaian yang
dilakukan Direktur Jenderal Pajak sesuai kondisi dan keadaan Harta
selain kas,
pada akhir Tahun Pajak Terakhir.Pasal 6
Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terutang pada:
a.
akhir Tahun Pajak 2016, untuk penghasilan tertentu berupa Harta
Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a;
b.
saat diterbitkan surat perintah pemeriksaan untuk melakukan
pemeriksaan dalam rangka menghitung Pajak Penghasilan atas penghasilan
tertentu berupa Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai
penghasilan, untuk penghasilan tertentu berupa Harta Bersih yang
diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b dan huruf c dan Pasal 2 ayat (2) huruf a;
dan/atau
c.
saat diterbitkan Surat Pembetulan atas Surat Keterangan yang berisi
penyesuaian nilai Harta yang diberikan Pengampunan Pajak, untuk
penghasilan tertentu berupa Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap
sebagai penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf
b.
Pasal 7
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 6 September 2017 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO |
|
Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 11 September 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. YASONNA H. LAOLY |
0 Response to "PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2017"
Posting Komentar